Antologi Cerpen dan Puisi Kemalangan

“Ketangguhan” yang Malang

“Di manapun tidak akan ada manusia yang tangguh. Yang ada hanyalah manusia yang pura-pura tangguh”, demikian Haruki Murakami dalam Dengarlah Nyanyian Angin pernah berkata.

Di tengah-tengah menjalani rutinitas “hidup” semester enam, dua puluh mahasiswa sastra berhasil menyelesaikan tugas Mata Kuliah Penulisan Kreatif. Mereka menjumpa kata, kemudian memungut dan menghimpunnya menjadi sebuah tulisan—cerpen atau puisi.

Berproses kreatif, masing-masing menumpahkan cerita. Barangkali pengamatan pribadi, cerita orang lain, bahkan pengalaman diri sendiri. Dengan apa adanya, mereka mencoba jujur dan berdamai dengan diri sendiri.

Meski sebenarnya rapuh, mereka mencoba tangguh dengan membuktikan diri lewat “keberhasilannya” menulis. Namun, seperti yang Murakami pernah bilang, manusia hanya berpura-pura tangguh. Kerapuhan pun tak dapat dielakkan, terbaca dari karya-karya mereka yang berisi kesedihan.

Kepiluan yang dialami tokoh-tokohnya, mengantarkan kepada nasib yang malang. Kemalangan dalam hal asmara, misalnya, dituturkan oleh Aryo, Nabil, Wilis, dan Yeremia. Mereka mengungkapkan rasa sedih si tokoh sebab (telah/akan) ditinggal pujaan hatinya.

Tak hanya menimpa tokoh rekaan Aprilia, kemalangan juga dialami oleh sosok-sosok ciptaan Afifah, Bella, dan Nur Wahid. Narasi mereka dihantui masalah-masalah yang mendatangkan musibah. Berbeda dengan Agatha juga Luthfi, kemalangan disuguhkan tak begitu jelas. Namun, lewat benda bernama “tiket” dan tokoh bernama “Kang Mustofa”, kita tahu bahwa rasa malang lagi-lagi diderita.

Tak hanya cerpen, buku ini juga memuat kumpulan puisi. Bait demi bait dituliskan dari endapan perasaan yang luka-luka. Sepuluh penyair berbicara, berteriak, dan merintih mengungkapkan asa.

Begitu malangnya! Sampai membuat Aji, Ardhika, dan Rico bertanya-tanya sekaligus menyerah pada diri sendiri. Rindu yang malang, rindu yang kesepian. Dyah, Gilang, Kartika, dan Sanggita rupanya dilanda rindu yang menyesakkan. Sepi juga sunyi, mereka bimbang merasai diri sendiri. Sedangkan Re Safitri, puisinya—yang diperuntukkan kepada Fientje de Feniks—mengenang gadis pirang berwajah bulat dalam ingatannya yang malang.

Terakhir, di antara puisi-puisinya yang lain, rupanya Gibran dan Satriyo tengah mengangkat wacana kekuasaan. Beragam isu atau fenomena dalam negeri, keduanya tulis penuh dengan emosional; benci, bingung, marah, hingga sedih. Tetapi pada akhirnya, mereka pun hanya dapat pasrah. Malang betul, bait-bait mereka...

Setiap karya dalam buku ini—baik cerpen maupun puisi—tentu hadir dengan gaya yang tak sama. Meski cara bertutur masing-masing berbeda, namun “kemalangan” seolah selalu ada, hadir dalam setiap pengisahannya.

Ingin dimafhumi, akhirnya dua puluh mahasiswa sastra berhasil (berpura-pura) tangguh menggabungkan karya. Dengan keyakinan yang ada, mereka berani membuat sebuah buku—menghadirkan “Kemalangan” ke hadapan pembaca dengan lugu.

Solo, 25 Mei 2018

Editor

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.