Antologi Esai Solo Sehalaman

Rupa-rupa Kota dalam Solo Sehalaman

Saat Bentara Muda menggagas ajakan sinau menulis esai tentang kota, “Solo Sehalaman” terceletuk begitu saja sebagai nama tajuk acara. Beberapa hal seperti penjaja makanan, pohon, jalan raya, bangunan berupa gedung-gedung tinggi, kendaraan, keramaian, sampai hari minggu, menjadi bayangan yang terlintas saat berbicara tentang kota.

Meski kata “kota” sebenarnya tidak merujuk secara khusus kepada kota Solo, melainkan gambaran kota secara umum, namun akhirnya “Solo Sehalaman” tersepakati menjadi judul acara. Solo sebagai tempat di mana kita sinau nulis, dan sehalaman adalah embel-embel yang kami pikir cocok untuk mewakili istilah “esai pendek” yang ditulis dan disinauni dalam waktu yang terbilang singkat, yakni satu tema dalam satu hari.

Hari Minggu, Roti, dan Ruang pun dipilih untuk mewakili tema besar ihwal perkotaan. Dikarenakan oleh beberapa pertimbangan, salah satunya kerterbatasan tempat, esai-esai pengantar yang dikirimkan oleh para calon penulis terpaksa diseleksi. Dari sejumlah esai yang masuk, kebanyakan dari mereka menulis tentang pengalaman dan/atau kesan pribadinya terhadap kota Solo. Pembacaan seluruh esai menghasilkan adu pendapat antarkurator, lantas dipilihlah tulisan-tulisan yang mana penulisnya diundang untuk menghadiri tiga perjumpaan pada tanggal 23 Mei,30 Mei, dan 6 Juni 2018.

Dengan dalih mengisi waktu luang saat puasa, kami berkumpul di Balai Soedjatmoko untuk mengobrol bersama tema hari itu. Menjelang sore, para penulis mulai menulis gagasan masing-masing, lantas tulisan-tulisan dibacakan dan saling berkomentar. Tiga pertemuan menghasilkan puluhan tulisan tentang hari minggu, roti, dan ruang. Satu judul tulisan terbaik dari setiap penulis lantas disatukan dan dijilid menjadi buku mungil Solo Sehalaman.

Beberapa kesulitan kualami saat menyunting tulisan teman-teman. Selain ketidakbakuan kata-kata, kalimat demi kalimat yang terbaca masih terasa “kurang enak” dan terkesan diulang-ulang. Pembahasan yang sama pun termuat di beberapa paragraf. Maka aku terpaksa memotong sedikit-banyak tulisan dari teman-teman. Selain itu, penataan kalimat dalam setiap tulisan mesti hati-hati demi mempertahankan gaya tulisan masing-masing.

Hari minggu banyak bercerita tentang pengalaman pribadi penulis. Makna kehadiran hari tersebut berbeda-beda, hari Minggu bisa jadi nostalgia masa kecil, seperti yang dialami oleh Agus Priyanto saat menonton serial kartun kesayangan, dan Bidadari Guitasida yang teringat akan rutinitas “Kelas Keputrian” bersama eyang putrinya. Ada pula Ifan, yang menulis tentang hari Minggu sebagai pelarian orang-orang zaman sekarang. Sedangkan hari Minggu ditegaskan oleh Khairul sebagai hari yang “berbeda” dari hari-hari lainnya. Suasana yang damai, tenteram, santai, dan menyenangkan adalah syarat utama yang seolah mesti ada pada hari Minggu. Selain itu, hari Minggu juga dijadikan kritik terhadap suatu kebijakan. Muchamad Yusuf mengaitkan hari Minggu dengan momen Car Free Day (CFD) di mana keberadaan tempat sampah minim sekali. Menariknya dari tulisan ini, penyebutan sampah sebagai “lukisan abstrak” memunculkan sudut pandang tersendiri. Pembayangan apabila sampah-sampah itu berwarna, maka sampah pun bukan sekadar onggokan barang bekas yang kotor, namun bisa menjadi “pemandangan indah” yang dapat menambah keceriaan hidup, setidaknya begitulah menurut Yusuf. Kritikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia juga ditulis oleh Imama Wulandari yang mempertanyakan mengapa hanya hari Minggu yang seolah “tersepakati” sebagai waktu bermain untuk anak-anak. Proses pembelajaran pada anak yang dijalankan seiring dengan pertumbuhan, seharusnya menjadi cara yang paling tempat untuk bermain sambil belajar sehingga waktu bermain anak-anak tidak hanya terbatas di hari Minggu.

Kesembilan esai tentang roti, sebagian banyak berbicara mengenai asal mula kedatangan roti dan bagaimana posisi roti bisa menggeser tradisi lama seperti bancakan dalam masyarakat Jawa. Termasuk bahan maupun alat penunjang pembuat roti yang diiklankan, berpengaruh kuat sebagai faktor pendorong dalam mempengaruhi keberalihan konsumsi masyarakat. Sekali pun nasi tidak benar-benar terlupakan, tetapi roti sudah kadung menjadi salah satu “sajian utama” dalam setiap acara.

Pertanyaan tentang toko roti yang lebih memilih istilah “cake and bakery” memunculkan esai bahasa. Konon, itu salah satu strategi dalam menjual citra pada konsumen. Roti pun menjadi sebuah nama yang majemuk. Beda penyebutan satu dan lainnya tergantung bagaimana bentuk dan isi roti tersebut. Menggelitik juga ketika kita membaca esai berjudul “Roti Jepang” yang ditulis oleh Mekar. Kesepakatan masyarakat akan sebuah istilah, dampaknya bisa membentuk kebiasaan berpikir berikut sikapnya. Ada pula yang menulis tentang keberadaan penjual roti dan toko-tokonya. Tan Ek Tjoan, rupanya menjadi salah satu roti yang bersejarah di Indonesia. Jahabidz dan Puan menuliskan bagaimana Tan Ek Tjoan kali pertama hadir sebagai merek roti. Pendirian usaha yang dirintis oleh pasangan suami isteri, Tan Ek Tjoan dan Phoa Lin Nio di Bogor, dalam penjualannya mengalami perkembangan hingga merambah ke kota lain, seperti Jakarta. Namun, kepopuleran tersebut perlahan terkikis akibat kemunculan toko-toko roti kekinian.

Esai-esai bertemakan “ruang”, bagiku adalah yang paling menarik. Ruang ditulis dengan sudut pandang yang bermacam-macam, mengajak kita berpikir tentang keberadaan “ruang yang lain”. Ternyata ruang tidak hanya mempunyai arti tempat atau wadah saja. Ruang bisa pula imajiner di masa lalu yang menyatu dalam ingatan orang-orang, seperti Bayu Saputra yang menulis tentang Sriwedari dengan begitu emosional. Ia menghadirkan sejarah Sriwedari dan menunjukkan kepada kita makna dari tempat tersebut, khususnya bagi warga Solo. Gagasan tentang ruang juga hadir dalam bentuk personal, misalnya istilah yang sering kita sebut sebagai “ruang privasi”. Akhirnya, kekaburan definisi tentang ruang terbentuk di mana-mana, apalagi ruang virtual yang kita kenal sebagai internet, semakin mengaburkan makna “keruangan” di zaman milenial.

Tiga Babak sinau menulis esai telah dilalui. Kini, biarlah “kota” menyapa pembaca sekaligus menjadi kenangan tersendiri bagi penulis, tentang bagaimana “kota” menyapa kita lewat buku Solo Sehalaman ini.

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.