Keramaian Hajatan dan Hari Minggu

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 Tentang Hari-hari Libur mencantumkan di antaranya tahun baru 1 Januari, Proklamasi Kemerdekaan dan 1 Mei sebagai hari libur Nasional. Momentum tersebut ditempatkan pada tanggal merah di kalender, tak terkecuali Minggu—yang dapat kita pastikan sebagai hari libur.

Minggu jamak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hari “duwe gawe”, hari untuk menggelar acara. Hajatan atau pernikahan menjadi gelaran yang paling sering dilaksanakan di hari Minggu. Gang-gang di kampung akan menjadi ramai dengan semarak pesta sedemikian rupa. Jalanan sekitar bahkan harus disetop sebab rangkaian acara tak jarang berlangsung lama, dari pagi hingga petang.

Hari minggu menjadi puncak dari segala rentetan acara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Bermacam keperluan akan diusahakan hari sebelumnya, semisal “rewangan”. Dalam Jawa, rewangan diartikan sebagai kegiatan berkumpul atau gotong-royong untuk mempersiapkan hajatan. Makanan dalam porsi besar akan dimasak oleh para ibu sebagai menu yang akan dihidangkan saat hari-H nanti. Begitu pula para bapak yang bahu-membahu memasang dekorasi, atau menata kursi sebagai tempat duduk bagi para tamu undangan.

Apabila pernak-pernik disiapkan di hari Jumat atau Sabtu, maka puncak acara adalah Minggu. Bagi para tamu, pemilihan hari tersebut cocok atau tepat sebab kebanyakan dari mereka telah luang dari pekerjaan. Anak juga tak harus menolak ajakan orang tua—untuk ikut datang—karena sekolah mereka libur. Barangkali itulah yang menjadi pertimbangan bagi si empunya hajat untuk memutuskan waktu. Ingin acaranya lancar dan tak sia-sia, acaranya diharap dapat dihadiri dan dinikmati oleh setiap para kenalan yang diundang.

Modernitas yang tak dapat dielak, telah mengantarkan pola pikir masyarakat kita menjadi serba instan. Segala sesuatu yang dinilai praktis dan efisien akan menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan, termasuk salah satunya menentukan tempat untuk menghelat pernikahan. Mereka yang bergengsi tinggi—tentu juga memiliki uang—akan menyewa hotel atau gedung pernikahan sebagai tempat ditunaikannya acara.

Jalanan kota menjadi lebih ramai, lebih macet. Meluapnya kendaraan di parkiran, berimbas pada pinggiran jalan yang mendadak dijadikan “lahan penampungan”. Jantung keramaian pun berdetak kencang di hari Minggu.

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.