Kue dalam Perayaan

Dalam mengingat maupun mengenang peristiwa yang dianggap penting, biasanya perayaan akan dihadirkan. Orang-orang mengingat hari kelahiran, hari kelulusan, hari pernikahan, bahkan hari kematian, dengan suatu peristiwa yang diacarakan.

Hampir di setiap perayaan, hadir kue sebagai makanan yang disuguhkan. Dalam budaya Jawa, kita mengenal tumpengan atau bancaan sebagai istilah lain dari suatu perayaan. Adat bancaan, dihadirkan sebagai ungkapan syukur seiring dengan pembagian sega gudhangan. Nasi putih berbentuk kerucut dihiasi sayur-sayuran hijau, dibumbui parutan kelapa dengan kehadiran telur rebus sebagai lauk pauknya. Di puncaknya, tusukan cabai dan bawang merah seolah hadir melengkapi makna filosofisnya.

Setiap sajian—mulai dari penataan sampai dengan jumlah komponen makanan—tentu hadir dengan pertimbangan yang berhubungan dengan ungkapan doa-doa tertentu. Di zaman sekarang, acara tumpengan mulai ditinggalkan seiring merebaknya popularitas kue dalam budaya massa. Lebih mudah kita jumpai berbagai macam perayaan yang dibalut kue-kue sebagai pengiring utama. Para orang tua akan merayakan ulang tahun buah hati mereka dengan memesan kue tart sebagai simbolisasi, ditunjukkan dengan meniup lilin dan memotong bagian per bagian untuk diberikan kepada orang tersayang. Kue sengaja dihadirkan sebagai medium atau cara berkasih sayang.

Dalam pembuka atau penutup suatu perayaan, kue hadir dalam momentum suka cita sampai duka cita. Di pernikahan, misalnya, kue dipilih sebagai suguhan pembuka yang mendahului sup atau nasi. Para tamu akan menandai kue sebagai pengantar, sebelum berdatangan makanan-makanan lain. Sedangkan tujuh, seratus, sampai seribu hari kematian diperingati sebagai penanda waktu orang tercinta telah berpulang. Mereka dikenang dalam perayaan bersuasana duka dalam ingatan orang-orang sekitar. Usai acara ditutup, orang-orang akan ­disangoni kue sebagai cangkingan (baca: oleh-oleh).

Saat bulan ramadhan, berbagai jenis kue telah dipersiapkan oleh para penjual sebagai produk yang gencar dipasarkan. Masa menjelang lebaran, kue-kue pun dipesan dari jauh-jauh hari. Para ibu rumah tangga akan bangga memajang kaleng-kaleng kue berikut merknya. Perasaan gengsi akan menyelimuti hati tuan rumah terhadap asumsi para tamu ihwal suguhannya. Kue akhirnya hadir dalam rupa-rupa perayaan apa saja, menyingkirkan budaya lokal yang mengagungkan adat tumpengan. Propaganda dari iklan-iklan telah membius pikiran masyarakat secara tidak sadar, untuk memilih kue sebagai sajian “penting” dalam setiap perayaan.

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.