Mahasiswa Sastra yang Asing dengan Sastra

Pada suatu hari di sebuah ruang perkuliahan, saya merasa sangat malu dan merutuki diri sendiri. Bagaimana, tidak? Saat itu saya dan teman-teman mesti melihat pemandangan menyedihkan berasal dari raut wajah sang dosen, tatkala pertanyaan beliau hanya dapat dijawab sekadarnya dengan senyuman oleh mahasiswa. Padahal, pertanyaan tersebut tergolong sederhana, yakni mengenai penulis dan karya sastranya.

Sudah jamak diketahui, jika sastrawan kita memang lebih banyak lahir justru bukan dari latar belakang Sastra Indonesia. Sebab anggapan sastra di masyarakat, masih dinomorsekiankan sehingga bisa dihitung dengan jari, mahasiswa sastra yang dulunya menjadikan program studi ini sebagai pilihan yang utama. Akhirnya, sastra pun jadi terkesan sebagai wadah penampung para ‘buangan’. Duh, teramat menyedihkan.

Berangkat dari sana, mahasiswa sastra sendiri seolah ingin maklum dan dimaklumi keadaannya sehingga yang terjadi, sastra Indonesia tampak seperti main-main (saja). Mahasiswa sastra barangkali perlu bertanya kembali pada diri sendiri, ihwal pergulatannya dalam jagat kesusastraan selama ini. Bagaimana mereka telah berpuas diri dengan teori-teori yang membebani lingkungannya sebagai mahasiswa yang (terlanjur) “santai”. Seolah merasa cukup dengan hal itu, mahasiswa sastra lantas tak berusaha membuka kembali buku-buku karya sastra.

Para mahasiswa yang semestinya mengakrabi karya sastra, harus merasa asing terhadap sastrawannya sendiri. Katakanlah Umar Kayam, Korrie Layun Rampan, Sori Siregar, Hamsad Rangkuti, atau sastrawan asing, seperti George Orwell dan Ernest Hemingway. Seolah-olah novel dianggap hanya menghabiskan waktu, obrolan menjadi tak perlu, diskusi hanya berlangsung pada kondisi keformalan tertentu, dan menonton pementasan atau pertunjukan seni hanya sebab perintah dari dosen.

Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah kemudian sastra terkotak-kotakkan hanya sekadar naskah kuno yang dianggap tak bernyawa, atau sastrawan berikut karyanya yang tak memiliki guna praktis bagi kehidupan, dan kepelikan bahasa yang rumit rumusannya?

Polemik Mahasiswa Sastra

Persoalan mengenai mahasiswa sastra, sebelumnya pernah ditulis oleh Fatih Abdulbari dalam esainya yang berjudul Mahasiswa (Anti) Sastra di Subrubrik Mimbar Mahasiswa Harian Solopos edisi 22 November 2016. Fatih mengungkapkan bahwa mahasiswa yang tidak membaca adalah makhluk paling berdosa. Jika merunut dari tulisannya, pendapat itu muncul dilatarbelakangi dari peristiwanya berbincang dengan salah satu mahasiswa Sastra Indonesia, namun mahasiswa itu tak mengenali deretan nama penulis yang disebutkannya. Merasa kecewa, Fatih pun harus menelan mentah-mentah rencananya untuk berasyik-masyuk mengobrolkan karya sastra.

Pengalaman Fatih tersebut semakin menunjukkan minimnya budaya literasi di lingkungan mahasiswa khususnya Sastra Indonesia. Esai yang cukup menyentil para pelaku Sastra Indonesia—khususnya di UNS—itu, kemudian mendapat balasan dari Hanputro Widyono melalui tulisan berjudul Bukan Mahasiswa Antisastra di Subrubrik Mimbar Mahasiswa Harian Solopos edisi 29 November 2016. Hanputro sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, banyak menjelaskan tentang latar belakang penulisan berbagai karya sastra berikut pengarangnya. Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, George Orwell, Ernest Hemingway, dan Mark Twain masuk dalam ulasan panjangnya. Han dalam paragraf akhir pun, membalas tulisan sebelumnya dengan mengatakan bahwa Fatih adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah yang ikut membaca teks-teks sastra, akan tetapi apakah ia cukup mengerti secuil sejarah kehadiran teks sastra yang dibacanya (?).

Hanputro barangkali termasuk mahasiswa sastra yang dapat dihitung dengan jari ihwal keterlibatannya dengan karya sastra. Ia sebagai pembaca sekaligus mahasiswa Sastra Indonesia, merasa terusik dengan “tuduhan” Fatih, kemudian menulis balasan sebagai tanggapan. Namun, ibarat gempa bumi yang berskala richter rendah, kedua esai di atas hanya dirasakan mahasiswa sastra Indonesia sebagai goncangan kecil di mana selanjutnya, “kehidupan” kembali normal seperti biasa, adem-ayem.

Kelesuan dalam Bersastra

“Jika kegiatan laboratorium mahasiswa kedokteran adalah uji coba dan pembedahan, maka laboratorium mahasiswa sastra adalah membaca dan menulis”, demikian seorang dosen saya pernah berujar. Barangkali pendapat tersebut boleh kita amini, sebab apalagi hasil keluaran sastra jika bukan—salah satunya— tulisan yang dihasilkan dari proses membaca?

Mungkin mahasiswa sastra memang (sudah) menulis. Sebagai contoh, mata kuliah Penulisan Kreatif yang mewajibkan tugas akhir dengan membuat buku. Akan tetapi, keberjalanannya seperti formalitas belaka. Mahasiswa menulis dan menerbitkan buku, namun selanjutnya karya tersebut hanya teronggok rapi di rak buku, tanpa disentuh lagi untuk didiskusikan atau dibongkar proses kreatifnya. Apresiasi dari kawan sesama sastra pun hanya sebatas membeli, atau “cukup mengetahui” bahwa temannya telah menulis buku. Begitu pula dengan mahasiswa yang menulis, seolah sudah merasa puas dengan pencapaian namanya di sampul buku, sebuah karya pun berakhir sebagai penuntasan tugas semata.

Kelesuan dalam Sastra Indonesia barangkali juga dipengaruhi oleh faktor dari dosen yang merasa sudah cukup dengan pertemuan tatap muka di kelas. Mahasiswa dinilai mampu belajar sendiri sehingga dukungan berupa keterlibatan berproses kreatif misalnya, cukup diapresiasi dengan sebuah ‘pengantar’ peluncuran karya, dan lain sebagainya. Lingkup mahasiswa dan dosen menjadi terpisah, alih-alih menjadi pelaku yang sama-sama menceburkan diri dalam sebuah proses bersastra.

Saya jadi teringat Pramoedya Ananta Toer yang pernah mengatakan dalam buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, “Semakin tinggi nilai karya sastra, sebenarnya tak lain karena semakin tinggi nilai sentaknya pada kesadaran dan tanggung jawab” (Pamusuk Eneste, 2009:6). Barangkali memang benar, kalau wacana kesastraan seringkali justru hidup dalam tempat lain, bukannya di rumah sendiri. Sebab jika pemilik rumah tak lagi peduli, di mana lagi harus mencari?

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.