Membaca Na Willa, Momen Bernostalgia

Identitas Buku

Judul buku : Na Willa dan Rumah dalam Gang

Pengarang : Reda Gaudiamo

Penerbit : POST Press

Tahun : 2018 (Cetakan Pertama)

Dimensi buku : xii+175 hlm, 13x19 cm

Harga buku : Rp65.000

Barangkali, rekaman masa kecil telah mendominasi sebagian besar dalam ingatan kita mengingat biasanya, seseorang cenderung bernostalgia ke masa silam di mana kenangan akan masa kecil berseliweran. Dan bagi siapa pun yang lahir sebagai generasi tua—sekarang tidak lagi kanak-kanak—membaca karya Reda yang satu ini dapat menjadi medium untuk menjenguk kembali masa silamnya.

Meski tidak disebutkan secara eksplisit tahun peristiwa yang terjadi dalam cerita, tetapi pembaca boleh yakin kalau kisah tersebut dikisahkan bukan di zaman sekarang, melainkan puluhan tahun sebelumnya. Kebiasaan Willa dan ibunya, Mak, mendengarkan radio Erres dan menggemari lagu-lagu Lilis Suryani, Ernie Djohan, atau Tetty Kadi menjadi salah satu buktinya. Selain itu, dapat dilihat pula melalui koleksi piringan hitam kepunyaan Mak.

Reda bercerita tentang keseharian seorang anak bernama Willa yang tinggal di Gang Krembangan di Surabaya berikut dengan segala kepolosan dan keluguannya. Setiap cerita dibungkus dalam penamaan judul yang beragam, berisi kisah-kisah antara Willa dengan orang-orang di sekitarnya yang berkaitan satu sama lain. Hal itu secara tidak langsung menjadi bagian pengenalan tokoh-tokohnya melalui deskripsi fisik serta karakter dari Mak, Pak, Mbok, Bu Guru, Farida, dan teman-teman Willa yang lain.

Si Kecil Willa yang berumur lima tahun adalah gambaran sosok bocah secara umum di mana kepolosan, keluguan, dan rasa ingin tahu yang sangat tinggi sedang membuncah pada jiwa anak-anak. Membaca Na Willa, kita akan dibuat tersenyum sendiri dengan tingkah lakunya yang bisa dikatakan konyol, tetapi juga wajar-wajar saja. Kita mungkin pernah mengalami rasa penasaran yang sama dengan Willa; berpikir tentang kemungkinan adanya orang-orang di dalam benda bernama radio. Sewaktu kecil, kita mungkin pernah menempelkan telinga lekat-lekat, juga mengintip isi perangkat radio atau televisi, seakan ingin memastikan apa yang ada di dalamnya. Dan rasa penasaran itu lambat laun terjawab ketika kelak, kita tahu bahwa radio, di dalamnya tak lain berisi kabel-kabel dan tabung, serta perangkat logam lainnya.

Di samping sebagai momen bernostalgia, buku ini juga mengajarkan pembaca tentang nilai-nilai toleransi tanpa terkesan menggurui. Perbedaan ras, suku, dan agama ditampilkan sebagai hal yang wajar, alih-alih dipandang sebagai permasalahan pelik. Sebab di hadapan dunia, anak-anak adalah kejujuran yang tanpa prasangka. Tidak seperti orang dewasa yang sering kali dipusingkan oleh aturan-aturan yang mengikat, pandangan polos melalui kacamata anak-anak justru menyadarkan kita akan kebijaksanaan dari hal-hal yang sederhana.

Sindiran halus tersebut dituangkan Reda dalam peristiwa-peristiwa kecil yang dialami Willa. Misalnya, Willa yang pernah mengadu karena diolok oleh temannya sebagai “Wong Cino”, Mak mencoba meredam kekesalan Willa dengan cara memintanya untuk memaafkan. Toh kebencian anak-anak tak mungkin berlangsung selamanya. Hari ini bertengkar dan bermusuhan, besoknya sudah berbaikan dan bermain bersama kembali. Selain itu, Willa yang beribadah ke gereja, suatu waktu pernah ke rumah Farida untuk ikut mengaji. Saat itu, Mak yang tengah membicarakan urusan serius dengan Pak, menyuruh Willa pergi sebentar ke rumah Farida untuk ikut mengaji.

“Willa, bagaimana kalau ke rumah Farida dulu. Ikut mengaji sebentar di sana.”

“Sana, ke rumah Farida. Temani dia mengaji.”

“Ya, Mak.”

Aku langsung berlari ke rumah Farida, masuk ke ruang besar. Dia sudah duduk di baris paling depan. Aku mengambil tempat di sampingnya, menghadap kitab yang terbuka. Farida menyorongkan lidi untuk menunjuk tulisan pada kitab itu.

Kanan ke kiri.

Kanan ke kiri. (hlm. 130)

Jika ditelisik, model pertemanan tersebut tampak indah dan sederhana di mata anak-anak. Dengan bahasa lugas dan sederhana, tokoh Willa bertutur sebagai orang pertama yang menggambarkan keadaan secara apa adanya. Na Willa dan Rumah dalam Gang adalah judul kedua dari lanjutan buku pertamanya, Na Willa (POST Press, 2016). Jika pada seri pertama Reda banyak menggambarkan pengalaman-pengalaman Willa yang menggembirakan, kali ini Willa berbagi keping-keping cerita yang terasa sedih oleh pembaca.

Pak yang sangat jarang diceritakan dalam buku pertama, sosoknya dimunculkan kembali melalui eksplorasi ketokohannya, dari mulai ciri-ciri fisik, karakter, sampai kebiasaan. Barangkali bukan tanpa sengaja, dua bagian awal berjudul seperti pak dan buah tangan dihadirkan sebagai pembuka. Sebab jalinan peristiwa selanjutnya, ia banyak hadir dan mengisi keseharian Willa. Pak menjadi tokoh yang paling berpengaruh untuk setiap keputusan di keluarganya, termasuk soal rencana pindah rumah ke Jakarta.

Dan perpisahan, sepertinya tidak pernah terasa mudah bagi setiap orang, tak terkecuali untuk anak-anak. Menjelang akhir cerita, Willa sebagai anak dihadapkan oleh keputusan besar tersebut. Teman-teman, lingkungan, dan suasana baru menjadi salah satu ketakutannya. Meskipun pada akhirnya Willa berusaha menyesuaikan kehidupan barunya, tetapi kenangan dan rasa rindunya kepada teman-teman lamanya senantiasa membayang di pikiran Willa.

Bagi pembaca, mungkin hanya satu hal yang menjadi kekurangan buku ini, yakni penutup cerita yang ditulis agak menggantung dan terasa belum selesai. Tetapi barangkali kisah Willa memang belum benar-benar selesai. Menurut catatan penulis, Na Willa sendiri selesai pada tahun 2012 setelah menyusunnya sejak tahun 2007, dan seri kedua, terbit lima tahun setelahnya.

Membaca buku Na Willa baik seri pertama maupun kedua, pembaca pun bernostalgia dan kembali disadarkan akan nilai-nilai sederhana yang indah, lewat ingatan dari berbagai peristiwa di masa kanak-kanaknya.

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.