Puisi dalam Kemelut Negeri

Sebuah obrolan bertajuk Seminar Nasional dengan tema Rasa Juang Rasa Persatuan digelar oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (Kemasindo) UNS pada hari Minggu (29/04/18) di Aula Gedung F FKIP UNS. Tiga orang dipersilakan secara khusus menempati kursi yang telah dipersiapkan oleh panitia di atas (baca: panggung). Hanputro Widyono selaku moderator bersiap menjembatani obrolan kami—sebagai peserta—dengan kedua pembicara; Joko Pinurbo (Jokpin) dan Gunawan Tri Atmodjo.

Hanputro memantik obrolan dengan berucap, “Puisi mendahului proklamasi”. Kalimat tersebut dikutipnya dari Bandung Mawardi dalam esainya yang berjudul Puisi dan Pengisahan Indonesia (Republika, edisi 6 Desember 2015). Kesangsian pun patut dirasakan dalam setiap benak pendengar. Namun barangkali ucapan itu bisa kita buktikan dengan menilik ulang sejarah masa lalu yang erat kaitannya dengan puisi.

Sebelum negara Indonesia berdiri, para tokoh intelektual telah berimajinasi tentang sebuah kebebasan, sebuah kemerdekaan yang diyakini kelak akan diraih. Pembayangan itulah yang kemudian berhasil terekspresi, salah satunya menjadi sebuah teks Sumpah Pemuda.

Dengan hati yang bergetar, 90 tahun yang lalu pemuda kita sepakat mengikrarkan tiga larik yang begitu puitis di tanggal 28 Oktober—yang kini diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda. Suara-suara lantang menggema dengan serentak: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tidak hanya di kongres Sumpah Pemuda, kita mengingat puisi juga turut andil dalam sidang BPUPKI (29 Mei 1945). Mohammad Yamin mengakhiri pidato panjangnya dengan membacakan puisi berjudul \"Repoeblik Indo nesia\" yang memuat enam bait. Sebelum kemerdekaan diraih, dua peristiwa di atas seolah menjadi bukti bahwa keberadaan puisi turut mewarnai sejarah berdirinya negara ini. Mungkin para tokoh tidak menyadari, bahwa rasa perjuangan dan persatuan itu sendiri adalah puisi.

Puisi juga ditulis oleh individu sebagai bentuk semangat perlawanan dalam merebut sekaligus mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman asing. Kita boleh menyebut judul puisi Aku, Krawang-Bekasi dan Diponegoro sebagai bagian dari bentuk perlawanan rakyat, yang terwakilkan melalui Chairil Anwar. Meski perdebatan makna sempat melingkupi tafsir puisi Aku, kita tak perlu ikut heboh dengan ketidaksamaan pandangan. Aku memang dapat dimaknai sebagai kondisi kejiwaan penyair yang tengah merasa terasing, sekaligus sebagai metafora perasaan sedih yang diderita oleh rakyat Indonesia.

Beranjak dari tahun 45-an, kemerdekaan mengantarkan kita menjadi sebuah bangsa yang berada di bawah pimpinan suatu rezim. Maka bentuk perlawanan tak lagi sama dengan masa sebelumnya. Sastrawan seperti Rendra, Taufik Ismail, hingga Wiji Thukul tak gentar menyuarakan perlawanan rakyat demi menentang keberingasan penguasa. Pada tahun 1966, di ibu kota banyak terjadi demonstrasi menentang pemerintahan Orde Lama, yang diserukan oleh para mahasiswa dari berbagai universitas. Beberapa di antaranya harus gugur sebab peluru yang menembus kulitnya. Kesedihan peristiwa itu lantas diekspresikan Taufik Ismail dalam puisinya berjudul Karangan Bunga.

Puisi juga tak main-main berperan bagaikan hantu bagi para penguasa Orde Baru. Dengan kata “Lawan” yang dibubuhi tanda seru, Wiji Thukul berhasil menggiring orang-orang untuk memberontak terhadap ketidakadilan para pemangku kepentingan. Penguasa dibuat lari tunggang-langgang dengan wajah masam. Namun dari puisi Peringatan itu juga, sang penyair diculik dan akhirnya dinyatakan hilang hingga saat ini. Serupa takdir, puisi adalah misteri.

Setelah reformasi, waktu merangsek maju membawa puisi dalam berbagai polemik berkepanjangan. Kata-kata menjadi korban kesinisan yang dijadikan objek untuk saling serang. Konflik yang dialami tak lagi bersifat vertikal, melainkan horizontal. Kita menghadapi perang saudara yang kenak-kanakan melalui media sosial. Situasi bertambah runyam tatkala perpolitikan bercampur baur membawa hawa panasnya. Bahasa Indonesia pun berjalan tak lagi sesuai dengan yang dicita-citakan dalam ikrar Sumpah Pemuda. Tak lekat dengan perdamaian, bahasa justru digunakan sebagai ujaran kebencian.

Gunawan yang Melawan Rezim Kesedihan

Melalui sastra, Jokpin dan Gunawan Triatmodjo memiliki kesamaan ihwal perlawanan. Menurut keduanya, mutakhir ini karya sastra di Indonesia telah didominasi oleh rezim bernama kesedihan, sebab melulu kepiluan yang menjadi tema besarnya. Berangkat dari sana, keduanya ingin melawan dengan usahanya menulis puisi maupun prosa yang berisi humor.

Tak muluk-muluk, Jokpin dan Gunawan mengaku hanya ingin menghibur, tanpa memiliki tendensi macam-macam seperti menggerakkan apalagi mengubah pembaca. Melalui tulisan, mereka mengawetkan berbagai pengalaman sekitar yang berhasil dikenang.

Momen-momen sederhana yang tak terlupakan, dialami oleh Gunawan semasa menjadi mahasiswa sastra. Kekonyolan peristiwa itu ditulis, lantas dituangkan menjadi sebuah buku. Pelisaurus dan Cerita Lainnya (2017) konon menuai kontroversi sebab judulnya yang tidak ramah anak.

Pelisaurus—salah satu judul cerpen—terbentuk atas ide Gunawan tentang salah satu kamar mandi di gedung perkuliahan semasa ia kuliah. Waktu itu, matanya tak sengaja menangkap sebuah gambar yang tak biasa, yaitu seekor dinosaurus dengan leher aneh yang terlampau panjang. Leher itu digambar menyerupai bentuk kelamin laki-laki. Sedang di bawahnya tertulis: Pelisaurus. Gunawan dan teman-temannya pun sepakat menjadikan kamar mandi tersebut sebagai tempat favorit berdalih buang air kecil, sebab guyonan selalu tercipta usai keluar dari sana.

Tak hanya itu, Sempak juga menjadi salah satu tulisannya yang mengeksplorasi guyonan. Celana dalam, disadari atau tidak, telah menjadi kebutuhan bagi setiap orang sebab telah berjasa dalam memberikan perlindungan, namun selama ini keberadaannya tak banyak dimaknai. Penulis cenderung ingin mengangkat hal-hal ringan dan tak memusingkan tanggapan pembacanya soal pesan moral.

Perlawanan Jokpin terhadap Puisi-puisi yang Melemahkan Iman

Derai-Derai Cemara teluran Chairil Anwar memiliki satu larik yang begitu menyayat hati: hidup hanya menunda kekalahan. Seolah tidak terima, iman Jokpin memberontak tatkala membaca keempat kata itu. Penyair ini lantas melakukan antitesa terhadap perpuisian Indonesia yang miris-melankolis. Ia mencontohkan Derai-Derai Cemara sebagai salah satu puisi yang dianggapnya dapat menyerang iman. Pembaca menjadi lemah iman dan terbebani ketika ia sedang sedih, harus bertambah sedih dengan membacai puisi-puisi sedih.

Jokpin menyebutkan puisinya yang berjudul Surat Kopi sebagai tawaran cara lain dalam menghadapi hidup yang penuh dengan kegetiran, kepiluan, dan absurditas. Ia ingin pembaca merayakan hidup dengan cara menikmati kesedihan tanpa harus menyesalinya. Singkatnya, berdamai dengan diri sendiri adalah poin utama yang ingin Jokpin sampaikan.

“Bagaimanapun juga, kesedihan akan tetap menjadi kesedihan. Kita hanya dapat menikmatinya,” tutur Jokpin.

Barangkali kepasrahan itulah yang membuat Jokpin gemar memasukkan unsur humor dalam puisi-puisinya. Tak bermaksud ber-stand up comedy, ia ingin menggunakan candaan sebagai terapi mental, khususnya bagi Jokpin sendiri ketika sedang menulis.

Jokpin bercerita ihwal proses kreatif kepenulisannya sekarang. Saat ini, ia sedang mencoba tantangan mengolah bahasa Indonesia dengan mengotak-atik dan menggali lebih dalam kosakata. Menurutnya, bahasa kita ini sangat menarik dan kaya, dibuktikan dengan gabungan kata yang unik, misalnya kabar burung, rumah tangga, dan lain-lain.

Celana Ibu, salah satu puisinya yang cukup fenomenal, mengangkat kata “paskah” sebagai sebuah permainan bahasa. Maria sangat sedih/ menyaksikan anaknya/ mati di kayu salib tanpa celana/ dan hanya berbalutkan sobekan jubah/ yang berlumuran darah// Ketika tiga hari kemudian/ Yesus bangkit dari mati/ pagi-pagi sekali Maria darang/ ke kubur anaknya itu/ membawa/ celana yang dijahitnya sendiri/ dan meminta Yesus mencobanya// “Paskah?” tanya Maria/ “Pas!” jawab Yesus gembira// Mengenakan celana buatan ibunya/ Yesus naik ke surga//.

Ketika kata paskah diucapkan, maka bermacam nada dapat terdengar dari hasil pemenggalan ucap yang berbeda-beda. ‘Iya’ atau ‘tidak’ normalnya akan dipakai sebagai jawaban jika pertanyaannya: “pas kah?”.

Celana Ibu ditulis oleh Jokpin dengan latar belakang perayaan paskah. Menurutnya, paskah adalah hari raya yang spesial bagi umat nasrani, sebab saat itu Yesus diangkat ke surga. Sedang pemilihan kata “celana”, dipilih Jokpin agar lebih dekat dengan situasi kini. Maria dan Yesus yang dikisahkan dalam puisi itu, bisa diinterpretasi sebagai gambaran sebuah hubungan kasih sayang antara ibu dan anak.

Sebelum Jokpin dikenal sebagai penyair yang gemar mempermainkan kata, kita memiliki Sutardji Calzoum Bachri sebagai penyair nyentrik yang identik akan kerumitan bahasanya. Pembaca yang penasaran dapat membuktikan dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka, Tapi, Kucing, Sepisaupi, dan sebagainya.

Permainan kata membuat bahasa menjadi beragam akan makna. Keambiguitasan tak bisa dihindari ketika pembaca menafsir puisi. Inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat ketika karya tersebut diterjemahkan. Namun menariknya, Jokpin justru senang apabila karyanya tidak dapat dialihbahasakan. Menurutnya, biarlah orang asing sendiri yang berusaha mempelajari bahasa Indonesia apabila ingin menikmati karyanya—atau karya lain yang berbahasa Indonesia.

Lintas Iman dalam Keberagaman Puisi

Chairil Anwar—penyair yang notabene beragama Islam—pernah menulis puisi Isa yang konon pernah digubah menjadi lagu rohani, dibacakan dan dinyanyikan dalam gereja-gereja. Seorang muslim lainnya, Subagio Sastrowardoyo, pernah dengan begitu dalam menuliskan pemaknaannya tentang natal dalam puisinya berjudul Transformasi, meski ia berhari raya Idul Fitri.

Barangkali kita takkan lupa bagaimana keindahan puisi Malam Lebaran berhasil ditulis oleh seorang kristiani, Sitor Situmorang dalam rangkaian katanya yang singkat. Bulan di atas kuburan seolah memikat kita dengan pembayangan yang indah akan suasana menjelang lebaran yang sunyi nan sepi; keheningan pekuburan di malam hari dengan cahaya bulan di atasnya. Kuburan sebagai simbolisasi dari kematian, dan bulan sebagai keindahan ilahi, melahirkan pemaknaan tentang kematian yang mesti dilalui sebelum mencapai Sang Ilahi. Puasa dan Idul Fitri menjadi sebuah proses pensucian diri sebelum menuju-Nya. Demikian Jokpin menginterpretasi Malam Lebaran, begitu sederhana namun mampu menggugah hati.

Para sastrawan di atas, sama-sama menulis puisi dengan menuangkan logika berpikirnya melalui ekspresi berikut dengan tafsirannya. Maka generasi sekarang tampaknya perlu bercermin dari sosok Chairil, Subagio, dan Sitor Situmorang yang saling belajar tentang hal-hal di luar iman dan keyakinannya dengan begitu baik, terbaca dari puisi-puisinya. Mestinya kita dapat pula melaku demikian, mengolah karya sastra dengan kedewasaan berekspresi, sehingga perbedaan tak melulu dijadikan alasan sebagai perpecahan, melainkan sebagai sebuah keberagaman.

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.