Refleksi Diri Kita dalam Orang-Orang Gila karya Han Gagas

Di bawah langit malam yang cerah meski tanpa bintang, alunan lagu dari kelompok musik Suarasa membuka acara bedah buku Orang-Orang Gila karya Han Gagas di Rumah Banjarsari Solo (14/4). Melalui lirik-larik Pertanyaan Orang Gila yang terinspirasi dari kisah Marno dan Astrid—tokoh dalam novel tersebut—pendengar berasyik-masyuk menikmati suasana yang begitu syahdu.

Namun, tiba-tiba dari salah satu sudut, muncul seorang lelaki yang berjalan ke tengah dengan gontai. Tangan kanannya membawa ranting pohon berdaun kering yang digoyang-goyangkan ke atas. Celana berwarna hitam yang dikenakan tampak panjang sebelah, dengan perban berwarna putih yang membalut lutut kirinya. Wajahnya yang dekil dan kotor, mengekspresikan raut aneh dengan tersenyum, tertawa, dan menggumam sendiri. Belakangan diketahui, ternyata lelaki tersebut adalah seorang bernama Budi Bodhot yang tengah memerankan teatrikal sebagai Marno. Penampilan tersebut ditutup dengan pembacaan potongan narasi yang terdapat dalam novel Orang-Orang Gila, kemudian disusul oleh Seruni, perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Astrid.

Kendati tak begitu riuh, namun semua kursi yang disediakan terisi penuh oleh para pengunjung yang hadir. Orang gila ternyata cukup mengundang rasa antusias khalayak, dibuktikan dengan keputusan mereka menghadiri acara bedah buku sebagai tujuan berakhir pekan. Yudhi Herwibowo selaku moderator, mengawali perbincangan dengan menuturkan kisah investigasi tentang orang gila yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi beberapa waktu yang lalu. Jawa tengah, ternyata menjadi tempat di mana kebanyakan orang-orang gila dibuang. Hal itu terkuak dari logat sunda dalam bahasa mereka pada saat ditemukan. Menurut Yudhi, orang-orang gila yang cenderung dibuang ke arah timur merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang seharusnya melindungi. Pembuangan tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk memenuhi angka penurunan orang gila yang telah ditargetkan.

Sedangkan sebagai pembaca, Orang-Orang Gila membuat ingatan Mahfud Ikhwan terlempar pada beberapa karya dengan tema serupa, seperti novel Lho, Putu Wijaya, berbicara tentang tokohnya yang berjuang melawan stigma “gila” oleh lingkungan sekitar, sebelum akhirnya ia menyerah. Juga film One Flew Over The Cuckoo’s Nest (1975) yang mengisahkan tentang seorang bajingan yang masuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di mana tujuan awalnya untuk bersembunyi, tetapi kemudian ia termakan oleh sistem RSJ yang beringas. Dua teks tersebut telah membentuk persepsi Mahfud tentang orang gila, yang sebenarnya mereka hanya berbeda dari kebanyakan. Lingkungan sekitarlah yang kemudian menciptakan jarak atas indikator “gila” yang dilihat dari penampilan, cara berbicara, dan sikap.

Kegilaan yang Tergesa-gesa

Orang-Orang Gila dibuka dengan gayanya yang mencekam, mendeskripsikan tentang segala hal yang berhubungan dengan orang gila berikut suasana rumah sakit jiwa. Berangkat dari titik yang menarik, pembaca seolah bersiap masuk dalam novel psikologis. Dalam beberapa bab, perubahan masih mulus digambarkan, namun ketika alur berubah dengan penjelasan latar belakang tokoh pascakeluar dari rumah sakit jiwa, tiba-tiba pembaca harus terbentur pada beberapa hal yang terkesan surealis atau absurd. Hal itu dapat dirasakan ketika Marno dengan cepat dan mudah, mulai membangun lingkungan sosial seperti hidup di bawah kolong jembatan, menjadi peramal, mengajar para gembala di tempat pembuangan sampah, dan sebagainya. Ketakwajawan itu juga terjadi pada Astrid yang sulit dibayangkan dengan notabene orang gila, tetapi seketika harus menjadi pelacur.

Han Gagas Sebagai Pengarang “Gila”

‘Gila’ bukanlah tema baru bagi Han Gagas. Sebelumnya, ia pernah mengangkat tema ini ke dalam kumpulan cerpennya berjudul Catatan Orang Gila. Menarik untuk ditelisik lebih lanjut mengenai kecenderungan pengarang mengangkat tema gila. Setiap pengarang, dapat dikatakan tidak mungkin terlepas dari konteks yang melingkupinya. Han Gagas lahir di Ponorogo, kota yang berdekatan dengan Madiun. Sejarah mencatat bahwa dahulu partai komunis banyak mendominasi derah-daerah tersebut. Itulah yang kemudian membuat Han memasukkan sesuatu yang berhubungan dengan komunis pada pengalaman tokohnya. Konteks lain yang melingkupi Orang-Orang Gila yakni pengalamannya berhubungan dengan para penderita schizofrenia.

Perkenalan terbentuk ketika ia berjumpa dengan seseorang yang merupakan mantan schizofrenia. Mereka banyak mengobrol dan akhirnya berhubungan lebih lanjut dalam sebuah komunitas. Di sana, Han berjumpa dengan teman-teman schizofrenia maupun yang mengidap bipolar. Mereka sering berbagi dengan menceritakan kisah hidupnya. Selain itu, pada suatu hari Han berkesempatan mengunjungi salah satu saudaranya yang pernah masuk ke RSJ. Ia masuk ke dalam bangsal, serta melihat dan merasakan langsung keadaan sekitar. Ia membaui aroma pesing, dan melihat para pasien yang marah-marah, serta melamun sendiri. Setelahnya, ia kemudian banyak membaca buku yang membahas tentang orang gila. Pengalaman masa kecilnya juga kembali digali. Kali pertama ia mendapatkan kisah tentang orang gila, ia ketahui melalui tetangganya yang mengabarkan ada sekumpulan pemuda membawa gadis gila.

Lewat berbagai riset, lantas membuatnya banyak menulis karya yang dekat dengan hal-hal berbau gila. Sudah jamak kita pahami, setiap pengarang memang memiliki cirinya sendiri. “Jika Sapardi Joko Damono telah memiliki hujan, dan senja telah melekat pada Sena Gumira Ajidarma, maka Han Gagas memilih gila pada kepenulisannya,” begitu ucap Harry Sulistyo, salah satu pembicara yang merupakan dosen Sastra Indonesia di Universitas Sebelas Maret.

Sebelum Orang-Orang Gila Diterbitkan

Balada Seorang Kekasih Gila adalah judul awal yang ditawarkan oleh pengarang dan sudah mendapat persetujuan dari editor. Namun kemudian, karena faktor yang dinilai kurang menjual dan kurang tegas, Orang-Orang Gila akhirnya disepakati menjadi judul novel. Selain itu, banyak dari pembaca yang penasaran dengan cerita asli yang konon terdapat bagian yang dihilangkan, yakni tulisan yang ada di dinding penjara. Diungkapkan oleh Han sendiri, suatu waktu ketika membaca sebuah novel terjemahan, ia mendapati narasi yang menarik, berkisah tentang narapidana yang mencoret-coret dinding penjara. Terinspirasi oleh itu, maka Han spontan membuat gambar yang berisi tentang beberapa simbol-simbol agama. Atas pernyataan editor—yang juga disetujui oleh pihak Gramedia—bahwa gambar tersebut terlalu vulgar dan sadis, akhirnya terpaksa dihilangkan.

Kembali Pada Sesuatu yang Profan

Menjelang akhir bagian novel, Marno dan Astrid bergerak pada sisi kecenderungan untuk menjadi pelayan Tuhan. Hal itu dibenarkan oleh pengarang yang mengakui adanya pengaruh Kuntowijoyo terhadap kepenulisannya. Khotbah di Atas Bukit, misalnya, pada sisi tertentu manusia pasti akan kembali pada dirinya sendiri karena segala sesuatu bersifat profan atau abadi. Kesusahan bertubi-tubi yang dialami oleh Marno dan Astrid, pada akhirnya membentuk keyakinan hanya kepada Tuhan, mereka dapat bersandar.

Orang-orang yang (sebenarnya) Gila

Kita patut merefleksi diri mengenai anggapan ‘gila’ yang (dengan sengaja atau tidak) telah kita lekatkan pada orang-orang yang termarginalkan. Jika kita kembali pada teks dalam novel ini, bukankah segerombolan anak yang memancing kerusuhan sama saja telah berbuat gila. Mereka mengetahui bahwa Marno gila, akan tetapi mereka justru menggoda dengan memancing emosinya. Kemampuan Marno sebagai penakwil mimpi justru dimanfaatkan oleh warga sekitar, termasuk kemauan Marno membersihkan sampah di kolong jembatan, justru membuatnya diusir oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Kasus lain juga dialami Astrid, pada malam hari ia diculik untuk dimandikan dan diperkosa beramai-ramai oleh sekelompok pemuda. Bukankah itu semua merupakan hal yang gila? Hal ini dapat menegaskan pada kita bahwa kegilaan seseorang juga dapat terbentuk karena kondisi sosial lingkungan itu sendiri. Lantas yang menjadi pertanyaan, adakah yang lebih gila daripada kejahatan, kerakusan, dan keinginan untuk melenyapkan orang lain?

Dalam keseharian, masih sering kita temui berbagai macam olok-olok dan perlakuan yang tidak semestinya terhadap “orang-orang gila”. Padahal semestinya kita tidak perlu menjauhi dan mendiskreditkan mereka—yang keberadaanya minoritas. Karena sama halnya dengan manusia lain, mereka juga berhak mendapat kasih sayang. Bukankah hidup akan lebih damai jika kita berkasih sayang?

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.