Sejak PSBB Diterapkan, Jakarta Masih Ramai

Menjelang waktu berbuka puasa, jalan pemukiman di Ibu Kota semakin ramai meskipun pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Jakarta diperpanjang hingga 22 Mei 2020.

Jalan raya di daerah Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada sore hari, Sabtu, 25 April 2020, tampak padat seperti biasanya. Berbagai kendaraan mulai dari bus, mobil, angkutan umum, hingga motor tetap ramai berlalu-lalang. Seolah tak ada perbedaan meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku sejak tanggal 10 April 2020.

Kebijakan tersebut dikeluarkan menyusul imbauan work from hone (WFH) yang lebih dulu diterapkan pada tanggal 16 Maret 2020. Sebulan lebih berjalan, aturan “jaga jarak” saja dinilai kurang efektif. Di samping itu, jumlah pasien terkonfirmasi positif virus Corona (COVID-19) juga terus bertambah setiap harinya.

Sejak kasus positif COVID-19 diumumkan kali pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020, jumlah pertambahan pasien semakin tinggi setiap harinya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh pemerintah dalam situs resminya, pada hari keempat belas, tercatat pasien positif COVID-19 sebanyak 134. Begitu pun pada hari ketiga puluh, pertambahan kasus mencapai 1.677. Sementara itu, data mutakhir per 25 April 2020, keseluruhan pasien yang terkonfirmasi positif mencapai 8.607 orang, dengan rincian sebanyak 1.402 orang dinyatakan sembuh, dan 720 di antaranya meninggal dunia.

Pemerintah melalui kebijakan PSBB berupaya menekan laju persebaran COVID-19 agar tak meluas. Beberapa aturan dipertegas dengan mengeluarkan sejumlah larangan maupun pembatasan, seperti pengaturan jam operasional transportasi umum, penutupan sementara sejumlah fasilitas umum, sampai dengan pelarangan ojek online (ojol) membawa penumpang.

Akibatnya, banyak industri yang terdampak, misalnya penutupan tempat hiburan, mal, dan sejumlah toko berimbas terhadap pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor tersebut. Bahkan, hingga 22 April 2020, tak sedikit perusahaan yang merumahkan ataupun melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, terdapat lebih dari 2 juta tenaga kerja yang diberhentikan akibat pandemi COVID-19.

Perut Harus Terisi

Sebagai pegawai lepas yang bekerja di sebuah usaha katering, Wahono (48) menjadi salah satu dari karyawan yang merasakan imbas dari COVID-19. Sebulan yang lalu, ia “dirumahkan” oleh tempatnya bekerja sampai waktu yang belum ditentukan.

“Tempat katering saya bekerja biasa melayani hotel-hotel, tapi sudah lama sejak corona datang tidak pernah ada pesanan lagi. Ya, bagaimana, mereka (hotel-hotel) juga sepi. Jadi katering pun mandek, dan saya dirumahkan,” tutur Wahono kepada saya.

Sejak saat itu, ia harus mencari akal agar tetap menghasilkan pendapatan. Dengan modal sebuah gerobak dan keahlian memasak, ia memutuskan untuk berdagang kue pancong dan gorengan di pinggir jalan di dekat tempat tinggalnya.

Meskipun pendapatannya tak seberapa jika dibandingkan dengan gaji yang sebelumnya, Wahono mengaku tidak punya pilihan lain.

“Keluarga harus tetap makan, meskipun hasil penjualan belum cukup untuk menutupi kebutuhan harian,” ujar Wahono.

Dalam berdagang, ia mengaku tetap menjalankan protokol dari pemerintah, seperti menjaga kebersihan dengan rajin mencuci tangan dan menggunakan masker. Bahkan, ketika berbincang dengan saya, Wahono sangat menjaga jarak.

Tak dapat dimungkiri, pandemi COVID-19 telah menjadikan situasi semakin sulit, apalagi bagi masyarakat yang perekonomiannya berada di tingkat bawah, pandemi ini seperti momok yang mengancam kehidupan.

Nasib Pengemudi Ojol

Selain pekerja yang di-PHK seperti Wahono, para driver ojol juga menjadi bagian dari kelompok yang rentan. Terlebih, salah satu poin yang diatur dalam PSBB merupakan pelarangan ojol untuk mengangkut penumpang.

Sebelumnya, aturan tersebut sempat simpang siur. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Provinsi Jakarta Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 menyatakan, ojol dilarang mengangkut penumpang dan hanya diperbolehkan untuk melayani pesan antar makanan maupun barang. Namun, dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Virus Corona, masih memperbolehkan pengangkutan penumpang oleh ojol.

Hingga akhirnya, pada tanggal 14 April 2020, pemerintah sepakat memberlakukan larangan ini.

Tak sedikit para driver ojol yang mengeluhkan aturan tersebut. Ahmad (53), mengaku bahwa pendapatannya menurun drastis hingga 100 persen. Meskipun orderan makanan masih jalan, tapi jumlahnya tak seberapa. Dalam kondisi saat ini, ia mengaku hanya mendapatkan maksimal empat pesanan dalam satu hari. Sementara untuk layanan paket, ia tak bisa mengharapkan lebih banyak.

“Jarang ada orderan paket. Pemasukan jadi sangat menurun, sedangkan saya tetap harus membeli bensin,” ujar Ahmad.

Ketika saya singgung mengenai kebijakan pemerintah yang memberikan diskon 50 persen pembelian bensin bagi ojol, Ahmad mengatakan keringanan tersebut tidak berpengaruh banyak bagi para driver.

“Nggak banyak ojol yang menggunakannya. Apalagi buat driver yang masih gaptek (gagap teknologi), prosedurnya ribet dan nggak praktis,” tambah Ahmad.

Ia menjelaskan, untuk memperoleh diskon tersebut, driver harus mengunduh aplikasi My Pertamina terlebih dahulu. Selain itu, pembayaran juga dilakukan secara cashless melalui aplikasi LinkAja.

Sebagaimana diketahui, dalam upaya menekan dampak COVID-19, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui PT Pertamina (Persero) telah mengeluarkan kebijakan pemberian diskon 50 persen bagi ojol yang membeli bensin di SPBU. Keringanan tersebut diberikan dalam bentuk cashback maksimal Rp15.000.

Namun, rupanya insentif tersebut belum berjalan efektif mengingat beberapa syarat dan ketentuan masih dirasa berbelit-belit oleh sejumlah ojol.

Senada dengan Ahmad, Puurnomo (40) juga mengeluhkan aturan ini. Ia mengaku, nominal diskon 50 persen tetap tak membantu penghasilannya yang menurun.

“Akan lebih mudah kalau cashbacknya diberikan dalam bentuk uang. Kita bayar Rp10.000, langsung dapat kembalian Rp5.000. Nah, kalau pakai LinkAja, kita kan juga harus top-up dulu. Terus ngisinya juga nggak mungkin Rp10.000 kan? Padahal pendapatan kami sudah menurun,” jelas Purnomo yang diikuti anggukan Ahmad.

Di emperan sebuah bengkel yang tutup, mereka duduk bersisian dengan jarak kurang lebih satu meter. Keduanya memperlihatkan smartphone masing-masing kepada saya untuk menunjukkan betapa sepinya orderan hari itu.

“Dari tadi kami nunggu (orderan), tapi nggak datang-datang,” kata Purnomo.

Warung Tegal Merana

Tak jauh dari tempat Agus dan Sugeng, saya mengunjungi salah satu warteg (warung tegal) yang masih buka. Pasalnya, dari tiga warteg yang saya datangi, semuanya tutup. Pada setiap pintu, terpasang lembar pengumuman bertanda tangan pemilik yang menerangkan warung ditutup karena COVID-19.

Lia (30), sedang menata berbagai menu olahannya di lemari etalase kaca. Setelah ia selesai membungkuskan pesanan saya, ia bercerita mengenai pendapatannya yang turun hampir 80 persen.

“Sejak ada larangan makan di tempat, pendapatan menurun sampai 80 persen. Biasanya dalam sehari, saya bisa mendapat Rp500.000, tetapi sekarang pemasukan rata-rata hanya Rp300.000,” kata Lia.

Penurunan pendapatan tersebut, ungkapnya, dipengaruhi oleh berkurangnya jumlah pengunjung yang datang untuk membeli makanan.

“Biasanya, kebanyakan para ojol yang makan di sini. Tapi sekarang mereka jarang sekali datang,” terangnya.

Pada bulan Ramadan ini, ia membuka warungnya di sore menjelang magrib dan dini hari saat waktu sahur. Namun, pembelinya tetap sedikit. Lia pun mafhum, mungkin orang-orang lebih memilih memasak sendiri di rumah.

“Mereka harus physical distancing, jadi tidak keluar-keluar rumah,” tambahnya.

Lantas saya berjalan pulang, jalanan masih terlihat ramai dipenuhi kendaraan. Satu-satunya yang sepi hanya tampak di dalam koridor TransJakarta yang kebetulan melintas. Saya bisa melihat, hanya ada satu sampai enam orang, termasuk sopir, di dalamnya.

Kebijakan PSBB memang dikeluarkan dengan tujuan menekan dampak COVID-19, kecuali terhadap perekonomian masyarakat yang semakin tertekan, tidak banyak perubahan yang terlihat, khususnya lalu lintas jalanan kota Jakarta.

Di sepanjang trotoar, saya masih mendapati beberapa orang yang bergerombol; nongkrong di atas jok motor. Saya pun mendekati salah satu gerombolan tersebut. Mengajak berbincang sebentar dan menanyakan apakah mereka tahu-menahu terkait kebijakan PSBB yang melarang warga untuk keluar rumah tanpa keperluan mendesak.

“PSBB itu apa, Kak? Saya nggak takut virus Corona, soalnya setiap hari kerja di luar dan kena panas matahari, jadi saya nggak takut,” Ardiansyah (25) salah satu pemuda menanggapi pertanyaan saya.

Ardiansyah menerangkan, ia merupakan karyawan yang bekerja sebagai teknisi pemasangan wifi yang berkantor di Jakarta Pusat. Selama pandemi COVID-19, kantornya tetap buka.

Setiap hari, ia mendapatkan tugas mendatangi rumah customer untuk service. Ia sendiri mengaku, meskipun kebutuhan internet untuk work from home (WFH) maupun belajar di rumah semakin tinggi, tetapi rata-rata panggilan service tetap sama seperti sebelum adanya COVID-19.

“Sama aja, nggak ada tambahan customer,” ujarnya.

Kemudian, saya pun sempat menanyakan kebijakan kantornya. Apakah ada imbauan untuk memakai masker saat bekerja di luar seperti ini.

“Iya, ada. Diberi, kok, Kak. Ini maskernya,” ia menjawab sambil mengeluarkan selembar masker lusuh dari saku jaketnya.

Sedikit menghela napas, saya mengakhiri percakapan itu dan melanjutkan perjalanan pulang.

Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan untuk menangani pandemi ini, mulai dari sosialisasi atau edukasi, pencegahan, dan pemberian bantuan. Tetapi kenyataan di lapangan, sebagian masyarakat bahkan masih belum mengetahui tentang PSBB.

Kritikan datang dari berbagai pihak, salah satunya Najwa Shihab yang sempat menyinggung ramainya jalanan Jakarta saat PSBB masih berlangsung. Wawancara eksklusif bersama Presiden Joko Widodo tersebut diunggah di kanal Youtube Najwa Shihab, Rabu, 22 April 2020.

Dalam penjelasannya, Jokowi mengatakan bahwa aktivitas sebenarnya masih dilakukan seperti biasa, hanya saja sesuai aturan protokol penanganan COVID-19.

“Artinya apa? Sebetulnya aktivitas itu, mobilitas itu yang harus dikurangi, tetapi juga yang paling penting tetap jaga jarak,” ujar Jokowi.

Jadi, kalau jalanan tetap ramai seperti ini, apa bedanya dengan sebelum PSBB dilangsungkan, Pak Presiden?

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.