Sisa

Aku akan kembali bernapas kalau saja tuanku tidak datang. Lalu seperti biasa, ia marah-marah dan menggebrakku dengan sekuat tenaga.

Tiba-tiba ia masuk. Dibantingnya pintu yang malang itu. Benar-benar menyedihkan. Penampakan pintu yang hampir bobrok, menjadi semakin payah sebab ia menghantam dengan sangat keras. Kini engselnya patah, dan sebentar lagi pintu itu akan diganti yang baru. Kemudian rusak lagi dan kembali diganti dengan yang baru lagi. Begitu seterusnya, seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Aku tidak begitu paham dengan jalan pikiran tuanku. Ia selalu datang dengan perasaan kesal, lantas memukul benda-benda yang ada di sini—tak terkecuali aku. Setelah semua barang dijualnya beberapa waktu lalu, kini hanya ada aku, sasaran satu-satunya yang tersisa.

Pernah suatu ketika, ia datang dengan keadaan yang begitu kacau. Bajunya koyak serta basah, penuh dengan lumpur. Wajahnya luka-luka, kulihat pelipisnya berdarah. Padahal semula ia pergi dengan keadaan baik-baik saja. Namun, siapa yang menyangka, kepulangan memang tidak selalu menjanjikan keadaan yang sama.

Terkadang aku merasa iba, mengapa tuanku seolah mengurung diri dari rasa sedih dan kemarahan tiada henti? Di ruangan ini, ia tampak begitu tersiksa. Ia selalu menangis sendirian, sesenggukan di sudut kamar. Sebenarnya aku ingin membantunya, mungkin dengan menenangkan atau sekadar menemani, agar dia tidak merasa terpuruk sendirian.

Tetapi kenyatannya, aku hanyalah seonggok benda mati yang tidak pernah dianggap keberadaannya. Manusia memang selalu begitu, hanya menangkap sesuatu yang terlihat oleh mata. Semua hal yang dapat dibuktikan, itulah kenyataan. Meskipun demikian, benda mati bukan berarti tidak memiliki nyawa, kan? Aku heran, mengapa manusia tidak kunjung peka, sedangkan banyak sekali hal kecil di sekitarnya yang bernilai, tetapi sering kali diabaikan.

Sudah bertahun-tahun lamanya aku tinggal di ruangan ini. Mungkin sejak tuanku masih kecil. Aku tidak begitu ingat bagaimana persisnya, yang jelas, waktu itu ia sering menaiki badanku untuk berlatih menyanyi. Ia menjadikan tubuhku sebagai panggung sebuah konser, di mana membayangkan tengah tampil dan disaksikan banyak orang. Harus kuakui, suaranya memang merdu. Kutahu, belakangan ini ia sedang mengikuti audisi pencarian bakat yang fenomenal, di program acara salah satu stasiun televisi.

Hampir setiap waktu ia berlatih dengan sisir yang dijadikannya korban sebagai mikrofon peraga. Tuanku memang bukan orang kaya, ia tidak sanggup membeli sebuah mikrofon yang bagus, apalagi mesti membayar seorang pelatih yang profesional.

Tahun ini adalah tahun ketiga ia mendaftar audisi. Meski gagal di tahun pertama dan kedua, ia tidak lantas menyerah begitu saja. Dengan persiapan yang lebih matang, ia berharap kali ini lolos. Keinginan tertingginya tidak lain ialah bisa keluar sebagai pemenang.

Semua itu kuketahui secara tidak langsung dari percakapan yang kucuri-dengar melalui panggilan masuk dari suara ponsel yang dikeraskan. Terdengar suara di seberang, selalu memberi dukungan pada tuanku tatkala ia sedang sedih dan putus asa.

Tuanku yang pendiam, sangat pelit berbicara. Alih-alih berkeluh kesah padaku, ia justru sering menjadikanku sebagai objek kekerasan. Ia tidak sadar, bahwa aku juga terluka saat ia mencoba melukai diri sendiri. Seperti halnya sekarang, setelah ia membanting pintu hingga engselnya rusak, ia mendatangiku dengan sekali gebrakan, yang kurasa adalah kemarahan sekaligus kesedihan terbesar yang pernah dialaminya selama ini.

Dua detik kemudian, ia menjatuhkan diri dan mengambil ancang-ancang. Kepalanya dibenturkan berkali-kali di bagian ujung tubuhku. Astaga, aku tidak sanggup melihat penampakan ini. Kulit kepalanya robek, darah mengucur dan menggenang di setiap helai rambutnya, kemudian menetes ke lantai meninggalkan bercak. Aku sungguh ketakutan. Bagaimana kalau dia mati?

Dering telepon bertalu-talu menggema di telingaku, di telinga tuanku. Ternyata ia masih hidup, dengan keadaan tidak berdaya, tuanku berusaha menggapai ponselnya di atas kasur.

“Halo? Andini?” suara di seberang menyapa.

“A...apa lagi?” Tuanku berucap sambil terisak menahan perih. Tubuhnya sedang terluka, barangkali batinnya juga.

“Kumohon, dengarkan dulu penjelasanku.”

“Semua sudah jelas. Hentikan semua kebohongan ini. Dasar berengsek! Mana bukti yang kau janjikan padaku selama ini? Aku sudah menuruti semua kemauanmu dengan melacurkan diri pada klien-klienmu yang sialan itu! Sebagai bagian dari perjanjian, aku rela tidak menerima bayaran sama sekali, asalkan aku bisa kau loloskan pada audisi. Tetapi apa kenyataanya? Tidak kudapati sama sekali namaku di papan pengumuman. Dasar pembohong!" Dengan napas tersenggal-senggal, ia mengurai kemarahan dengan umpatan yang panjang.

“Bukan beg..., “

Tuut. Sambungan tiba-tiba terputus. Suara di seberang berakhir menggantung tanpa penjelasan.

Rupanya ponsel sudah terlepas dari genggaman tangan. Tuanku terjatuh di lantai yang warnanya berubah menjadi merah, pekat oleh darah.

Tuanku telah mati, meninggalkan rahasia yang tidak sesi(apa)pun tahu. Kecuali aku, kini aku tahu, mengapa hanya aku yang disisakan di ruangan ini.

← Back to portfolio

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Aprilia Ciptaning Maharani

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.